Liputan Media

[Liputan Media] [bleft]

Silaturahmi

[Silaturahmi][twocolumns]

Agenda

[Agenda][bsummary]

Dibuang Warga, Dimakan Pemulung


Jam menunjukkan pukul 13.30 WIB. Terik, becek air lindi, dan bau busuk dari gunung sampah bercampur aduk menghiasi aktivitas ratusan pemulung di zona 3 Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Bekasi.

Kondisi itu tidak menyurutkan semangat para pemulung mengais setiap sampah yang datang dari segala penjuru Jakarta. Setiap tumpukan sampah baru yang datang, ada rezeki yang dapat mereka ambil.

Besarnya tenaga yang terkuras selama pencarian sampah, tidak jarang membuat pemulung juga melirik sampah makanan yang masih layak dikonsumsi. Seperti yang dilakukan salah seorang pemulung Rohadi (47) yang menemukan sebungkus roti sobek dan langsung melahapnya di lokasi. “Makanan yang masih layak seperti ini ya dimakan”, kata Rohadi.


Tidak jauh dari lokasi Rohadi mencari kertas dan kardus , Sarmi (45) dan Adim (40) mencicipi kue kering yang ditemukannya dalam kantong plastik bening di antara tumpukan sampah.

“Iseng makan gitu, kalau lapar dikit, malas turun ke bawah untuk beli nasi ya apa saja dimakan, yang penting sehat gitu saja,” kata Sarmi.

Adim bahkan menambahkan bahwa tidak hanya makanan jadi, tetapi bahan mentah, apabila dirasa masih layak, bisa dibawa pulang ke rumah. “Jangankan makanan, ikan, ayam, saja kalau masih bagus ya dibawa pulang, dimasak lagi. Yang penting, jangan sampai ikannya sudah biru. Kalau sudah biru kan artinya udah enggak layak,” kata Adim.

Jika Rohadi, Sarmi, dan Adim sering mengonsumsi langsung makanan yang masih dianggap layak sebagai pengganjal perut sembari memulung, Engkar (43) gemar mencari makanan kemasan dan makanan siap masak di sela menyortir sampah kertas dan plastik. Makanan kemasan sering ia dapatkan langsung ketika ada truk yang datang ke TPST Sumur Batu, Bekasi.

"Saya enggak berani ke gundukan tinggi. Ini saya ambil di dekat jalanan. Kayak sosis gitu sering saya ambil kalau nemu, bisa digoreng,” kata Engkar sambil mengunyah keripik pisang. Sebungkus keripik pisang itu pun hasil penyelamatan dari gundukan sampah.

Ada sedikit nada bangga saat Engkar menunjukkan berbagai benda hasil temuannya itu. Sebotol madu, adonan puding instan, makaroni kering, sekantong kacang almon, hingga sebungkus lembaran kulit taco, makanan khas Meksiko. Ada juga sebungkus bumbu saus gochujang khas Korea.

Engkar (43) sedang menunjukkan makanan kemasan dan makanan siap santap di teras rumahnya pada Selasa (26/04/2022). Makanan itu ia dapat disela menyortir sampah kertas dan plastik di TPA Sumur Batu.


Bagi Engkar, tidak ada yang spesial dari makanan-makanan impor tersebut. Asalkan tidak ada bungkusan yang berlubang, baginya semua masih layak untuk dimakan.

Ketahanan pangan

Bagi Rohadi, Engkar, dan pemulung lainnya, tindakan untuk menyelamatkan makanan yang mungkin masih bisa dikonsumsi dari tumpukan sampah, adalah suatu strategi bertahan hidup. Menurut Ketua Koalisi Persampahan Nasional Bagong Suyoto, pemulung adalah simbol konkret kelompok ringkih ketahanan pangan.

“Jadi, bagaimana caranya mereka mencukupi pangan? Salah satunya mencari sisa pangan yang masih bisa digunakan untuk konsumsi sehari-hari. Itu sebagai upaya untuk mempertahankan hidup,” lanjutnya.

Pemulung mengais sampah dan petugas merapikan sampah dengan alat berat di TPA Bantar Gebang pada Selasa (26/04/2022).


“Itu kalau usianya 40, 30 tahun mereka masih sehat. Masih hebatlah mereka. Makan tanpa cuci tangan. Mereka tidak berpikir, jika itu gas metana, karbondioksida, dan zat macam-macam sangat berpengaruh terhadap ketahanan tubuhnya. Misal terhadap paru-paru, pertumbuhan psikis dan fisiknya dia. Kelak, kalau sudah 50, 60 tahun bengeknya mulai kelihatan,” ujar Bagong.

Sampah makanan memang menjadi kategori terbesar dari sampah yang dihasilkan setiap harinya di Indonesia.

Secara nasional, berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2021, sisa makanan menyumbang lebih dari seperempat sampah yang dihasilkan tiap harinya. Ini pun telah mengalami penurunan dari tingkatan sekitar 40 persen pada 2019.

Namun, apabila melihat 10 metropolitan penghasil sampah terbesar di Indonesia, sampah makanan rata-rata mengambil porsi sebesar 53,8 persen dari total timbulan sampah.

Menengok data TPST Bantar Gebang, setiap harinya secara rata-rata ada lebih dari 3.300 ton per hari sampah makanan atau sekitar 43 persen dari total 7.700 ton sampah yang ditimbun ke salah satu gundukan sampah raksasa. Komposisi sampah makanan yang lebih tinggi ketimbang rata-rata nasional juga terjadi di TPA Sarimukti di Bandung Barat. Dari sekitar 1.100 ton sampah yang masuk TPA setiap hari, 43 persen atau 473 ton di antaranya sampah organik atau makanan. Sampah ini berasal dari Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung Barat.

Bagong menilai, perilaku membeli makanan melampaui apa yang dibutuhkan adalah kebiasaan buruk masyarakat yang sudah lebih sejahtera. “Kebanyakan yang membuang sampah itu orang-orang kaya, bukan orang miskin. Mau makan tiga kali sehari saja kurang. Bahkan mereka harus mencari sisa makanan untuk dimakan,” kata Bagong.




Sumber : https://www.kompas.id/baca/humaniora/2022/05/18/dibuang-warga-dimakan-pemulung